Bima, KabarNTB - Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Tonda, Irfan, menjelaskan kronologi mutasi Sekretaris Desa yang didahului temuan pungutan liar (pungli) dalam program bedah rumah. Penjelasan ini disampaikan untuk mengklarifikasi isu dendam pribadi di balik mutasi tersebut.
Irfan memaparkan bahwa kasus bermula ketika Kepala Desa cuti ke Mataram dan Pelaksana Harian (PLH) dijabat Sekretaris Desa. Saat menjabat PLH, turun informasi program bedah rumah yang kemudian dimanfaatkan untuk melakukan pungutan.
"Saat menjadi PLH turunlah informasi program bedah rumah yang kemudian sekdes mengumpulkan kepala dusun untuk melakukan pendataan, dan di situlah berawal perintah untuk melakukan pungutan minimal 50 sampai 150 untuk 40 KPM," jelas Irfan.
Pengakuan Korban dan Investigasi BPD
Dalam perjalanannya, program bedah rumah ternyata tidak kunjung dilaksanakan, membuat warga bertanya-tanya dan mendatangi Kepala Desa serta BPD. Menyikapi laporan masyarakat, BPD mengambil inisiatif mengumpulkan korban pungutan liar.
"BPD mengambil inisiatif untuk mengumpulkan masyarakat korban pungutan liar dan dibuatkan surat pernyataan yang menyatakan bahwa betul mereka mengumpulkan uang dengan nominal 50 sampai 150," kata Irfan.
BPD kemudian bersurat kepada Kepala Desa dengan tembusan Camat dan Inspektorat untuk dilakukan pemecatan terhadap perangkat desa yang melakukan penyalahgunaan jabatan. Surat ini menjadi dasar bagi Kepala Desa untuk melaporkan kasus tersebut ke tingkat yang lebih tinggi.
Proses Hukum dan Pengakuan Pelaku
Setelah dilaporkan, Inspektorat melakukan audit khusus dan pemanggilan saksi-saksi. Hasil pemeriksaan menunjukkan semua saksi mengakui telah terjadi kegiatan pungutan liar tersebut.
"Semua saksi mengakui betul telah terjadi kegiatan tersebut dan mereka mengumpulkan uang atas perintah daripada pak sekdes, dan sekdes pun saat diperiksa mengakui betul bahwa ialah yang menyuruh kepala dusun untuk melakukan pengumpulan uang," tegas Irfan.
Irfan menegaskan bahwa mutasi Sekretaris Desa murni berdasarkan temuan penyalahgunaan wewenang dan tidak ada unsur dendam pribadi antara Kepala Desa dan BPD. Meski dalam pengakuannya Sekdes hanya menyuruh pungutan sebesar 30.000, fakta di lapangan menunjukkan nominal yang lebih besar.
"Jadi tidak ada dendam kades dan BPD atas mutasi sekretaris Desa," terang Wakil BPD menegaskan.
Kasus ini menjadi pembelajaran penting tentang akuntabilitas pengelolaan program desa dan pentingnya pengawasan masyarakat terhadap pelaksanaan pemerintahan di tingkat desa.
(*)

.png)