![]() |
| Ketua Fraksi PAN DPRD Kabupaten Bima, Rafidin S.Sos, saat enyerahkan Dokumen ke Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (Kejati NTB), Kamis (4/12/2025). |
Mataram, KabarNTB,– Ketua Fraksi PAN DPRD Kabupaten Bima, Rafidin S.Sos, resmi melaporkan Ketua DPRD Kabupaten Bima, Nurmala Sari alias Dita, ke Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (Kejati NTB), Kamis (4/12/2025). Laporan tersebut berkaitan dengan dugaan penyimpangan dalam pembagian anggaran pokok-pokok pikiran (pokir) tahun 2026 senilai Rp31 miliar, yang disebut dibagikan secara sepihak tanpa mekanisme lembaga yang sah.
Rafidin hadir langsung di Kejati NTB untuk menyerahkan laporan dugaan korupsi tersebut. Ia menegaskan bahwa pembagian pokir dilakukan tanpa rapat, tanpa persetujuan fraksi, dan tanpa forum resmi DPRD.
“Saya melaporkan dugaan korupsi pokir Rp31 miliar. Ibu Ketua DPRD membagikan anggaran itu tanpa rapat, tanpa persetujuan seluruh anggota DPR. Ini lembaga negara, bukan yayasan pribadi,” ujarnya.
Nilai Beragam, Anggota Disebut Terima Rp300 Juta hingga Rp2,3 Miliar
Dalam laporannya, Rafidin mengungkapkan bahwa nominal pokir yang diterima anggota DPRD bervariasi, mulai dari Rp300 juta hingga Rp2,3 miliar. Ia sendiri mengaku turut dititipi anggaran sebesar Rp600 juta, namun menolaknya.
Setidaknya 27 anggota DPRD telah menandatangani penolakan terhadap pembagian pokir tersebut dan mengembalikan anggaran ke pihak eksekutif.
“Fraksi PAN, PKS, dan PDIP sudah menolak. Kami tidak mau jadi bagian dari skema yang tidak prosedural,” tegas Rafidin.
Rafidin juga menyebut bahwa Ketua DPRD sebelumnya mengaku tidak menerima apa pun, namun kemudian diduga menitipkan anggaran melalui sejumlah anggota fraksi lainnya.
Sumber Anggaran Dinilai Janggal
Rafidin menilai alokasi pokir senilai Rp31 miliar tersebut berasal dari pihak eksekutif, namun anggota DPRD tidak mengetahui dengan pasti sumbernya, apakah dari DAU, DAK, atau pos anggaran lainnya.
Ia menegaskan bahwa seluruh program seharusnya sudah terintegrasi dalam Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD). Karena itu, usulan dadakan semestinya tidak dapat masuk atau diproses.
“Kalau ada pokir tiba-tiba di luar SIPD, sistem otomatis menolak. Karena itu pembagian Rp31 miliar ini janggal,” jelasnya.
Dugaan Titipan Lewat Fraksi dan Dapil
Rafidin mengklaim adanya skema “titipan” anggaran melalui beberapa fraksi, seperti PPP, Demokrat, dan Golkar, serta sejumlah daerah pemilihan, antara lain Sape, Lambu, dan Wera. Titipan tersebut diduga hanya berupa angka yang kemudian dicatat di eksekutif melalui pihak tertentu.
“Semua eksekusi dikendalikan ketua DPRD. Seolah-olah lembaga ini milik pribadi,” ujarnya.
Untuk pokir 2026, Rafidin menyebut belum melihat indikasi keterlibatan eksekutif. Namun pada pokir 2025, ia menduga adanya peran oknum pejabat teknis OPD dan tim TAPD.
Harap Kejati NTB Bertindak Objektif
Rafidin meminta Kejati NTB menangani laporan tersebut secara objektif, mengingat maraknya kasus korupsi di NTB, termasuk kasus pokir DPRD NTB yang sebelumnya menjerat tiga anggota dewan.
“Korupsi di NTB ini masif. Saya harap kasus ini diusut tuntas agar uang rakyat tidak jadi bancakan,” tegasnya.
(*)

