
Screenshot unggahan status Facebook Syarif Leu.
Bima, KabarNTB — Akademisi sekaligus pemerhati pendidikan, Dr. Syarifuddin, M.Pd., menyoroti praktik politisasi dalam proses seleksi calon kepala sekolah (Cakep) di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Melalui unggahan di akun media sosialnya, ia menilai kebijakan mutasi dan seleksi di lingkungan Dinas Pendidikan masih sarat dengan kepentingan politik dan jauh dari prinsip profesionalitas.
Dalam unggahan di akun Facebook pribadinya, Syarif Leu, dosen Universitas Muhammadiyah Bima itu menceritakan pengalaman pribadinya ketika sang istri, seorang guru yang telah mengabdi sejak 2006 dan menjabat sebagai wakil kepala sekolah, gagal lolos dalam seleksi administrasi calon kepala sekolah tahun ini.
“Jangankan ikut seleksi, lolos administrasi saja tidak ada kesempatan yang diberikan oleh ruang politik pendidikan Kabupaten Bima,” tulisnya.
“Istri saya sudah mengabdi sejak 2006, sudah menjadi wakil kepala sekolah sejak saat itu, golongannya pun lebih tinggi dibandingkan dengan yang diloloskan dari satuan kerja yang sama,” lanjutnya.
Syarifuddin menyebut proses seleksi tersebut mencerminkan masih kuatnya politik kekuasaan dalam dunia pendidikan daerah. Ia menggunakan ungkapan bahasa Bima, “Ake ngara na karingu angi woha ndiha” — yang berarti “kegilaan di tengah umum” — untuk menggambarkan praktik yang menurutnya sudah di luar akal sehat.
Menurutnya, jika pemerintah daerah ingin menegakkan keadilan dan meningkatkan mutu pendidikan, seharusnya seluruh peserta yang memenuhi syarat administrasi diberi kesempatan mengikuti tahap seleksi berikutnya, bukan disaring berdasarkan kepentingan politik.
“Kalau mau bermain, yang cantik sedikitlah. Diloloskan saja dulu semua yang memenuhi administrasi, baru yang menjadi pilihan politik itu disaring di tahap substansi,” ujarnya dalam unggahan tersebut.
Di akhir tulisannya, Syarifuddin tetap memberi apresiasi kepada Bupati Bima, Ady Mahyudi, dan Wakil Bupati, Irfan Zubaidy, atas upaya mereka membangun infrastruktur jalan di daerah. Namun, ia mempertanyakan keseriusan pemerintah daerah dalam mendorong peningkatan mutu pendidikan jika praktik-praktik politis semacam ini terus dibiarkan.
“Bagaimana langkahnya dalam meningkatkan mutu pendidikan kalau caranya masih seperti ini?” tulisnya, seraya menandai salah satu rekannya, Sukrin Wera.
Ia juga menyinggung bahwa dirinya sejak awal tidak pernah mengizinkan sang istri mengejar jabatan kepala sekolah lewat jalur politik, meski sempat memenuhi syarat dari program Guru Penggerak.
Unggahan itu menuai beragam tanggapan dari warganet, sebagian besar memberikan dukungan dan menyoroti perlunya sentralisasi kewenangan pendidikan ke pemerintah pusat, agar proses pengangkatan dan mutasi tenaga pendidik tidak lagi dipengaruhi kepentingan politik lokal.
(*)
.png)