Kasus HIV di NTB Capai 2.490, Mayoritas Dialami Kelompok LSL

Kasus HIV di NTB Capai 2.490, Mayoritas Dialami Kelompok LSL
Ilustrasi 

Mataram, KabarNTB – Jumlah kasus HIV di Nusa Tenggara Barat (NTB) terus menjadi perhatian serius. Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) NTB, sejak 2001 hingga Agustus 2025 tercatat 2.490 kasus HIV secara kumulatif.

Kepala Dinkes NTB, dr. Lalu Hamzi Fikri, mengatakan tren kasus baru meningkat signifikan sejak 2021 hingga 2023, bahkan hampir 100 persen dibanding tahun sebelumnya. Namun, pada 2024 grafik kasus baru mulai melandai, meski tetap menjadi peringatan penting bagi pemerintah dan masyarakat.

“Tren penambahan kasus baru mulai melandai di 2024, ini cukup menggembirakan meski masih menjadi tantangan besar,” jelas Fikri di Mataram, Selasa (19/8/2025).

Kasus HIV Didominasi Lelaki Seks Lelaki (LSL)

Fikri menuturkan mayoritas kasus HIV di NTB berasal dari kelompok lelaki seks lelaki (LSL) atau gay. Selain itu, penularan juga ditemukan pada kelompok populasi umum, pasangan berisiko tinggi, penderita TBC, pelanggan pekerja seks, waria, hingga warga binaan pemasyarakatan.

“Pola penularan terbesar masih melalui hubungan seksual berisiko, khususnya di kalangan LSL,” ungkapnya.

Ia menegaskan siapa pun berpotensi terinfeksi HIV jika minim edukasi dan informasi mengenai pencegahan. Kurangnya pengetahuan soal kepatuhan minum obat ARV juga membuat risiko penularan semakin tinggi.

Fokus Pencegahan pada Populasi Kunci

Dinkes NTB saat ini menggiatkan program pencegahan pada populasi kunci, di antaranya pembagian kondom dan pelicin, pemeriksaan serta pengobatan infeksi menular seksual (IMS), penyediaan alat suntik steril, hingga terapi rumatan metadon.

Selain itu, pencegahan penularan dari ibu ke anak, pemberian imunisasi HPV, serta uji saring rutin juga terus diperkuat. Pemberian Profilaksis Pra Pajanan (PrEP) kini digencarkan bagi kelompok berisiko tinggi di tiga daerah utama: Kota Mataram, Lombok Barat, dan Lombok Timur.

“Kegiatan penanggulangan HIV ini membutuhkan sinergi semua pihak, baik pemerintah, swasta, hingga komunitas,” terang Fikri.

Menurutnya, kerja sama sudah dilakukan dengan sekolah menengah, perguruan tinggi, fasilitas kesehatan, hingga penggunaan media digital dan videotron untuk memperluas edukasi HIV di NTB.

Stigma Jadi Penghambat Penanganan HIV

Fikri mengakui tantangan terbesar masih terletak pada stigma masyarakat dan keterbukaan orang dengan HIV (ODHIV) terhadap pasangan maupun keluarga. Selain itu, dukungan anggaran dan jangkauan program pencegahan juga perlu ditingkatkan.

“Lebih baik mencegah daripada mengobati. Pengobatan bagi ODHIV bersifat seumur hidup, sehingga dibutuhkan disiplin tinggi dalam mengonsumsi ARV agar virus bisa ditekan sampai level aman,” pungkasnya.

(ai/kn)

Baca Juga
Posting Komentar