Mataram, KabarNTB - Kebijakan pengalihan alokasi Transfer Keuangan Daerah (TKD) dalam postur APBN 2025 memaksa pemerintah daerah berstrategi menghadapi keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berbagai langkah efisiensi dan optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD) digodok untuk memastikan roda pembangunan dan pelayanan publik tetap berjalan normal.
Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini, oleh pemerintah pusat, disebut bukan sebagai pemotongan melainkan pengalihan anggaran. Dana yang sebelumnya dikelola daerah dialihkan menjadi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) untuk membiayai infrastruktur yang menjadi prioritas nasional.
“Pertanyaannya, kenapa pusat tidak menjadikan semua anggaran TKD yang ditarik menjadi ditransfer dalam skema DAK ke daerah? Karena skema DAK, kebijakan dalam menentukan tujuan dan sasaran pelaksanaan program dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah pusat,”
Alasan di balik kebijakan ini, seperti disampaikan berbagai pihak, berkaitan dengan persoalan trust atau kepercayaan. Pemerintah pusat dinilai memiliki sejumlah prasangka, seperti penyerapan anggaran daerah yang terlambat dan inefisiensi belanja, yang dianggap menghambat laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Meski demikian, janji pusat masih terbuka. Daerah berpeluang memperoleh kembali TKD pada semester pertama 2026 jika dinilai serius mengatasi kendala-kendala yang dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi.
Lima Langkah Antisipasi Pemda
Menyikapi situasi ini, Pemerintah Daerah (Pemda) didorong untuk mengambil sejumlah langkah strategis dan taktis:
- Membangun organisasi yang lincah dan efisien.
- Penghematan belanja penunjang dan menunda belanja yang tidak prioritas.
- Menjemput pendanaan dari sumber APBN.
- Mencari pendanaan alternatif/inovatif melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau kerjasama B to B dengan BUMD sebagai perpanjangan tangan pemerintah.
- Mengoptimalkan potensi pendapatan daerah tanpa membebani rakyat.
Fokus pada Hilirisasi dan KPBU
Skema KPBU dinilai sebagai instrumen pembiayaan kreatif untuk mengatasi keterbatasan APBD, khususnya dalam pembangunan infrastruktur. Kabupaten Bima, sebagai salah satu daerah dengan kapasitas fiskal rendah, mulai mereposisi kebijakan dengan tidak lagi mengandalkan transfer pusat.
Potensi besar di sektor pertanian, seperti produksi jagung yang mencapai 512 ribu ton per tahun, menjadi peluang untuk membangun kerajaan fiskal daerah yang sehat. Namun, petani kerap hanya menikmati keuntungan sempit akibat tingginya biaya produksi dan pasar yang belum terkontrol.
“Dengan program hilirisasi produk turunan, kita pasti lebih kompetitif menawarkan harga yang lebih bersaing. Membangun industri hilir di daerah berarti komponen biaya logistik dapat dialihkan untuk kompensasi harga pembelian di tingkat petani,”
Hilirisasi juga membuka peluang bisnis bagi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan menyerap tenaga kerja baru. Pemerintah Kabupaten Bima melalui Bappeda telah menjajaki beberapa potensi kerjasama, di antaranya:
- Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Ketahanan Pangan dengan ekosistem industri terpadu.
- Kerjasama pembangunan energi listrik terbarukan untuk kantor pemerintah.
- Industri pengolahan garam.
- Sistem/platform digital dengan bank untuk pengelolaan pajak dan retribusi daerah.
- Pembangunan infrastruktur PJU dengan sistem Build, Operate, Transfer (BOT).
- Pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Kecamatan Bolo.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan roda perekonomian daerah tetap bergerak, memastikan kehidupan masyarakat terus tumbuh dan berkembang meski di tengah keterbatasan anggaran.
(*)



.png)